Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama, yaitu salah satu daerah taklukan di Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin, negeri Kutai merupakan salah satu negeri di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14. Pada pertengahan abad ke-17 Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kaltara) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan pada waktu Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang yaitu Sultan Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654
Sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622). Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak, Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Pada 1765, VOC membantu Sultan Banjar Tamjidullah I untuk menaklukan Kutai kembali dalam perjanjian 20 Oktober 1756.
Pada tahun 1787 Banjarmasin (serta vazalnya) menjadi daerah protektorat VOC. Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena kalah dalam peperangan. Belanda kembali datang ke Kalimantan (Banjarmasin) dan kemudian membuat perjanjian dengan Sultan Banjar. Pada tahun 1817, negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt. Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.
Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H.
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
0 komentar